Foto : Inggit dan Soekarno |
Jakarta, Pesan Rakyat - Inggit Garnasih namanya kala itu masih berstatus istri Sanusi, seorang penggiat Sarekat Islam di Bandung dan sahabat HOS Cokroaminoto. Sedangkan perempuan yang satu lagi adalah Utari, anak HOS Cokroaminoto yang telah menjadi istri Soekarno.
Tanggal 24 Bulan Maret Tahun 1923, Soekarno menikahi Inggit ketika keduanya telah berpisah dari pasangan masing-masing. Inggit telah bercerai dari Sanusi. Dan Utari yang belum "disentuh" Soekarno sama sekali karena dirasakan lebih sebagai adik, dikembalikan kepada ayahnya di Surabaya.
"Aku telah mengamati, kalau engkau membelah dada seseorang, temasuk aku, akan terbaca dalam dadanya bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri merupakan perpaduan dari seorang ibu, kekasih, dan seorang teman. Aku ingin teman hidupku bertindak sebagai ibuku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijitnya. Kalau aku lapar, aku ingin menyantap makanan yang dia masak sendiri. Kalau bajuku koyak, aku ingin istriku menambalnya. Dengan Utari keadaannya terbalik. Aku yang menjadi orang tuanya, dia sebagai anak".
Pengakuan Soekarno seperti yang tertulis dalam buku biografi "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang ditulis oleh Cindy Adams. Dalam buku itu, Soekarno secara jujur mengungkapkan betapa Inggit menjadi sosok ibu yang memberikan kasih sayang tulus dan menyediakan segala kebutuhan diperlukan oleh pemuda yang sedang terbakar oleh gelora nasionalisme untuk memerdekakan bangsanya dari cengkeram penjajahan itu.
Inggit pun dengan matanya yang besar dan gelang di tangan itu tidak memiliki latar belakang yang menonjol. Dia sama sekali tidak terpelajar, tetapi bagiku intelektualisme tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Untukku, yang menjadi ukuran adalah sifat kemanusiaan.
Wanita ini sangat mencintaiku. Dia tidak memberikan pendapat. Dia hanya memandang dan memperhatikan, mendorong dan memuja. Dia memberikan segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ibuku. Dia memberiku cinta, kehangatan, sikap tidak mementingkan diri sendiri, yang kuperlukan dan tidak pernah kuperoleh sejak aku meninggalkan rumah ibuku".
"Psikater mengatakan bahwa ini adalah pencarian kembali kasih sayang ibu. Mungkin juga, siapa tahu? Jika aku mengawini Inggit karena alasan ini, itu terjadi secara tidak sadar. Dia waktu itu, dan sampai sekarang, masih seorang perempuan yang budiman. Pendeknya, kalau dipikirkan secara sadar, perasaan-perasaan yang dia bangkitkan kepadaku tidak berbeda dengan yang dia berikan pada seorang anak kecil".
"Dalam kurun waktu kehidupanku selanjutnya, Inggit sangat penting bagiku. Dia adalah ilhamku. Dia adalah pendorongku. Dan dalam waktu dekat aku memerlukan semua ini. Aku sekarang mahasiswa di tahun kedua. Aku sudah menikah dengan seorang perempuan yang kubutuhkan. Usiaku sekarang lebih 21 tahun. Masa jejakaku sudah berada di belakangku. Tugas hidupku terbentang di depanku. Pemikiran awal yang dipupuk oleh Pak Cokro dan mulai menemukan bentuknya di Surabaya, tiba-tiba keluar menjadi kepompong di Bandung dan berkembang dari keadaannya itu menjadi seorang pejuang politik yang sudah matang."
"Dengan Inggit berada di sampingku, aku melangkah maju memenuhi perjanjianku dengan sang nasib".
Melangkahlah Soekarno menjemput nasibnya sebagai calon pemimpin besar. Di Bandung pada 4 Juli 1927 ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan meraih kemerdekaan sepenuhnya bagi Bangsa Indonesia. Suatu tujuan tergolong radikal saat itu karena organisasi-organisasi sebelum PNI selalu menyembunyikan sebagian dari tujuan mereka agar tidak dihambat oleh Belanda.
Di Bandung pula Soekarno semakin mengasah keahliannya berorasi. Pidato-pidatonya di depan massa semakin berapi-api dan kian terang- terangan membangunkan kesadaran rakyat untuk menggulingkan kekuasaan kolonial lalu memerdekakan diri.
Belanda berusaha memadamkan api perjuangan Soekarno dengan dinginnya tembok sel tahanan. Atas tuduhan hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun pidana di penjara Sukamiskin.
Adalah Inggit yang secara rahasia mengirimkan berbagai berita kepada Soekarno agar semangat suaminya itu tidak padam selama terkurung dinding penjara.
Cerita Soekarno dalam biografinya, "Katakanlah Inggit mengirimkan kitab Alquran pada 24 April. Aku harus membuka bab 4 halaman 24 dan dengan ujung jari aku meraba dengan teliti satu halaman itu.
Di bawah huruf-huruf tertentu terdapatlah bekas lubang jarum. Jadi seperti huruf braile. Di bawah huruf A terdapat sebuah lubang kecil. Di bawah huruf N sebuah lubang kecil lagi dan seterusnya. Dengan demikian aku dapat mengetahui isi berita".
"Kalau isteriku membawakan telur biasa, aku meneliti kulitnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Satu tusukan peniti berarti kabar baik. Dua tusukan berarti seorang kawan ditangkap. Tiga tusukan berarti penyergapan besar-besaran dan semua pemimpin ditangkap".
Sejak Soekarno terlibat kegiatan politik yang amat menyita waktu, Inggit sudah terbiasa mencari penghasilan sendiri dengan menjual bedak dan jamu yang diramunya sendiri. Selama Soekarno berada dalam penahanan, Inggit pun mencukupi sendiri kebutuhan hidupnya dari berjualan alat-alat kecantikan itu.
Soekarno pun berujar mengenai istrinya itu, "Inggit selalu menjadi jimat keberuntunganku. Ke mana saja aku pergi, dia selalu ikut".
Ke pembuangan di Ende, sebuah tempat terpencil di Pulau Flores, Inggit setia mendampingi suaminya. Bahkan di tempat pembuangan itu, ibunda Inggit yang bernama Amsi, akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan. Di Ende, Inggit adalah satu-satunya teman bicara dan diskusi bagi Soekarno.
Pada pembuangan selanjutnya ke Bengkulu, Inggit pun menemani Soekarno. Dan di Bengkulu inilah prahara rumah tangga mereka mulai meruak dengan kehadiran Fatmawati. Bagaimana pun besarnya kharisma kepemimpinan Soekarno, ia tetaplah seorang manusia. Ia menginginkan keturunan yang tidak diperolehnya dari Inggit. Saat itu Fatmawati berumur 17 tahun, sedangkan Inggit telah menapaki usia 53 tahun.
Berpesanlah Soekarno kepada Inggit dengan air menggenangi pelupuk matanya, "Kalau sekiranya aku menjalani hidup yang normal dengan kegembiraan yang normal pula, mungkin aku dapat menerima kesepian karena tak punya anak. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu kecuali kemiskinan dan penderitaan. Aku sekarang berumur 40. Dalam umur 28 tahun aku sudah dipenjara, 12 tahun dari tahun-tahun terbaik seorang laki-laki kuhabiskan dalam pembuangan. Bagaimana pun, dengan cara apa pun, sebaiknya ada suatu imbalan. Aku merasa aku tidak lagi mampu menanggung beban jika yang ini juga dirampas dariku".
Inggit tetap kekeh pada sikapnya yang tak ingin dimadu. Soekarno pun sempat mengalah hingga pernikahan itu tetap bertahan setelah mereka meninggalkan Bengkulu dan menetap di Jakarta. Namun, rumah tangga mereka sudah terlanjur dilanda ketegangan.
Pertengkaran sering pecah di antara keduanya. Dan Soekarno sering terserang penyakit sehingga harus dirawat di rumah sakit selama berpekan-pekan. Perceraian pun akhirnya ditempuh sebagai jalan terbaik.
Asmara Hadi, menantu Inggit, memberikan nasihat kepada ibu mertuanya itu, "Ini jalan satu-satunya, Bu. Seluruh negeri kita memerlukan Bapak. Tidak hanya Ibu, Ratna Juami (anak angkat Inggit), atau saya. Bapak telah menjadi milik kita semua. Rakyat memerlukan Bapak sebagai pemimpinnya, bukan yang lain. Dan apa yang akan terjadi pada Indonesia, kalau Bapak hancur?.
Inggit pun kembali ke Bandung sebagai janda Soekarno pada 1942. Sejak itu pula ia mundur dari panggung sejarah. Di rumah yang dulu dihuninya bersama Soekarno, ia menghabiskan sisa hidupnya secara bersahaja hingga tutup usia pada 96 tahun. Inggit wafat pada 13 April 1984 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Porib di kawasan Caringin, Bandung.
Inggit Garnasih sudah dua kali diajukan sebagai pahlawan nasional pada 2008 dan 2009, namun ditolak oleh pemerintah. Bertepatan dengan Hari Kartini pada 22 April 2012, Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia (YMSI) kembali mengusulkan Inggit sebagai Pahlawan Nasional.
Ketua YMSI Nani Lubis mengatakan Inggit layak untuk digelari Pahlawan Nasional karena menunjukkan semangat patriotisme selama mendampingi perjuangan Soekarno. Inggit dinilai memiliki integritas moral dan keteladanan selama menemani Soekarno melalui masa-masa sulit.
"Jika ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan diusulkannya Inggit Garnasih sebagai pahlawan nasional, karena mereka beranggapan, jika kisah perjuangan Inggit Garnasih hanyalah kisah romantika keluarga saja, bukan kisah perjuangan bangsa," ujarnya.
Sebuah romantika memang terjalin antara Inggit dan Soekarno. Namun, Inggit menunjukkan sebuah keteladanan ketika romantika mereka telah berakhir. Ketika Soekarno mengunjunginya yang tengah sakit pada 1960 untuk meminta maaf.
Jawaban Inggit saat itu adalah, "Tidak usah minta diminta, Ngkus (panggilan Inggit kepada Soekarno). Sudah lama Nggit memaafkan Ngkus. Ngkus pimpinlah negara dan rakyat dengan baik seperti cita-cita kita dahulu".
Begitu pula dengan perkataan Inggit ketika melepas jasad Soekarno yang meninggal lebih dulu pada 21 Juni 1970, "Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Nggit mendoakan)".
Inggit yang tetap mencintai Soekarno tahu betul mengapa ia harus mundur dari kehidupan pria yang dicintainya itu.
Bung Karno yang tumbuh menjadi pejuang politik tangguh dalam pelukannya harus tetap berjuang untuk rakyat meski harus terlepas dari genggamannya.
Inggit pernah bilang bahwa harta pusaka Bung Karno yang paling berharga adalah kemerdekaan Bangsa Indonesia.
"Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat, dan untuk semua keturunan bangsa kita," kata Inggit dalam sebuah wawancara.
Sedangkan peninggalan Bung Karno khusus untuk dirinya adalah, "Kenangan yang tak terlupakan, yang Ibu simpan di dalam hati, yang akan menemani Ibu masuk ke dalam kubur".
Bila membaca tentang Inggit, memang tidak ditemukan tentang perjuangan fisik melawan penjajah seperti yang lazim terlukis dalam sosok seorang pahlawan Namun Inggit hanya punya cinta tulus.
Itulah Romantika Cinta Inggit Pada Soekarno cinta yang penuh dengan pengorbanan yang bisa diteladani oleh anak bangsa masa kini yang saat ini mudah sekali bertikai di alam kemerdekaan.
Kurang dan lebihnya mohon dimaafkan ya, salam hormat Merdeka!!!
Penulis : M Rizki Damanhuri, S.sos