![]() |
Foto : Istimewa |
Jakarta, Pesan Rakyat - Desa Jetak, Kecamatan Tulakan, Pacitan memiliki tradisi unik. Yaitu upacara adat Larungan. Ritual melepas sesaji ke laut ini diyakini menjadi sarana penolak bala. Termasuk wabah COVID-19 yang saat ini masih melanda.
Seorang pria duduk bersila di atas hamparan pasir putih. Matanya terpejam, namun wajahnya tegas menghadap ke lautan. Mengenakan ikat kepala dengan setelan baju putih dan celana hitam, dia tampak bergeming walau empasan angin terasa kuat siang itu.
Debur ombak pecah di ujung pesisir Pantai Pidakan. Sesekali buihnya menjilat kakinya yang telanjang. Ada tongkat berbalut kain putih menancap di dekat ujung jari. Alih-alih beringsut, mulut sang kakek justru makin keras merapalkan mantra. Lalu ditengadahkan tangan memohon Kuasa Sang Maha Esa.
"Ya Allah, Ya Allah. Kula nyuwun kanthi sanget mugi pagebluk mayangkara ical saking bumi Nuswantara. (Ya Allah, Ya Allah. Hamba sungguh memohon wabah hilang dari bumi Nusantara)," ucap sang kakek bernama Sopingi (63) diamini belasan warga satu dusun yang di belakangnya.
Di sela munajat, pria sepuh yang juga tokoh adat itu tampak menyulut dupa. Harumnya berbaur dengan aroma bunga tujuh rupa yang menjadi bagian dari kelengkapan ritual. Ada pula rakitan batang pisang dengan aneka sesaji di atasnya.
Adapun sesaji terdiri dari 47 encek (kulit batang pisang dibetuk kotak). Di dalamnya terdapat aneka menu. Antara lain nasi dibentuk mirip kerucut yang disebut golong, serta sayuran dan lauk pauk.
Bersamaan usainya pembacaan doa, beberapa pria bergegas menuju tempat sesaji berada. Mereka lantas mengangkat rakitan batang pisang dengan ornamen janur. Diiringi teriakan takbir, mereka lalu membawanya ke laut.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar," teriak mereka serentak.
Para pria itu tampak menembus empasan gelombang. Perlahan kaki mereka tenggelam tertutup air laut putih kebiruan. Hanya dalam sekejap permukaan air mencapai setinggi dada. Saat itulah sesaji dilepaskan bersama ombak yang datang menggulung.
mohonkan kepada Allah dan alam semesta pagebluk (pandemi) mudah-mudahan segera hilang," terang Sopingi kepada wartawan usai ritual.
Menurutnya, wabah yang saat ini melanda membuat masyarakat khawatir sekaligus prihatin. Ritual yang digelar, lanjut Sopingi merupakan bentuk ikhtiar selain penegakan protokol kesehatan yang sudah menjadi kewajiban.
"Melihat kenyataan seperti ini saya menangis betul. Banyak warga yang pagi sakit, sore meninggal. Sore sakit, paginya meninggal," tuturnya berurai air mata.
"Oleh karena itu mari saling jaga, saling asah, asih, dan asuh. Tetap ikuti ketentuan pemerintah. Pandemi ini harus semakin membuat kita semakin dekat dengan Gusti Allah," pungkasnya. (Detik.Com)
-Kikidamanhuri