![]() |
Foto : Istimewa |
Jakarta, Pesan Rakyat - Merebaknya kasus Covid-19 di Kota Malang, Jawa Timur membuat siapa pun harus berjuang keras menyelamatkan keluarganya yang terpapar Covid-19.
Berjuang melawan Covid-19 tidaklah mudah, harus ada keberanian keluarga dalam merawat pasien terpapar virus corona tersebut.
Keadaan ini saya alami sendiri bersama istri serta keluarga di saat ibu saya dan ibu mertua yang berusia lanjut terkonfirmasi positif Covid-19 secara bersamaan awal Juli 2021.
Mereka dinyatakan positif Covid-19 setelah melakukan tes swab dan PCR di salah satu rumah sakit swasta ternama di Kota Malang.
Tentu saja hasil PCR kedua orang tua kami mengejutkan keluarga. Karena selama pandemi mereka tidak pernah keluar rumah sama sekali. Bahkan, bisa dikatakan patuh protokol kesehatan.
Melihat kabar tak sedap ini, kami sekeluarga harus berjibaku menyiapkan segala sesuatu agar virus corona tersebut tidak menular kepada keluarga dan tetangga sekitar rumah.
Saat itu juga, sekeluarga terpaksa melakukan tes swab, tetapi alhamdulillah hasilnya negatif. Walaupun demikian, kami tetap disarankan isolasi mandiri di rumah oleh tim medis untuk mengantisipasi penularan Covid-19 di masyarakat. Kami sekeluarga pun tunduk dengan imbauan petugas kesehatan.
Bahkan, untuk makan pun merasa kesulitan, karena setiap makan selalu merasakan mual dan akhirnya muntah. Melihat kondisi kesehatan kedua orang tua menurun, saya langsung melaporkan ke tenaga kesehatan Puskesmas Pandanwangi, Blimbing, Kota Malang, untuk berkonsultasi tata cara penanganan dan merawat pasien Covid-19 di rumah.
Bagi saya dan keluarga, terpapar Covid-19 bukanlah sebuah aib di masyarakat, sehingga tidak perlu dirahasiakan jika ada keluarga yang terkonfirmasi positif Covid-19. Keselamatan lebih penting daripada merahasiakan positif Covid-19 yang mengancam jiwa dan nyawa kita.
Usai berkonsultasi dengan pihak Puskesmas, kami pun terpaksa "memenjarakan" ibu untuk isolasi mandiri di kamar sembari menunggu informasi rumah sakit menerima pasien Covid-19.
Pasalnya, pada saat itu, seluruh rumah sakit di Kota Malang dinyatakan penuh dan tidak bisa menerima pasien Covid-19, sehingga kami pun memberanikan diri merawat ibu dengan protokol kesehatan ketat dengan petunjuk dokter dan tenaga kesehatan (nakes).
Langkah ini kami tempuh karena kita tidak ingin terjadi sesuatu terhadap kedua orang tua kami. Setiap jam, kita harus berkonsultasi via Whatsapp dengan nakes dari Puskesmas tanpa mempedulikan waktu istirahat nakes.
Mulai pagi, siang sampai malam hari kami sekeluarga terus menerus berkonsultasi dengan nakes untuk melaporkan perkembangan kondisi kesehatan ibu.
Hal ini terpaksa kita lakukan karena keluarga merasa sadar diri, bahwa kami bukan ahli dalam bidang medis, sehingga tidak ingin ada kesalahan dalam menangani ibu yang terserang Covid-19. Apalagi mereka sama-sama lanjut usia.
Usia ibu saya 82 tahun, sedangkan ibu mertua 73 tahun, jadi keduanya harus mendapatkan perawatan intensif selama terpapar Covid-19. Semua cara dan petunjuk tim medis kami lakukan demi menyelamatkan nyawa ibu.
Upaya mencegah penularan Covid-19, kami pun menyiapkan handzanitizer dan belasan botol disinfektan yang dibeli dari supermarket.
Setiap waktu kami semprotkan ke dalam kamar tempat isoman ibu dan seluruh ruangan rumah serta kamar mandi dengan harapan tidak ada virus lagi berkeliaran di rumah.
Termasuk pakaian, mukenah, tempat makanan dan minuman yang saban hari digunakan ibu di kamar isoman pun tak luput dari semprotan disinfektan.
Selain itu, kita juga menyiapkan oxycan green atau tabung oksigen untuk persiapan pertolongan pertama pada saat mengalami sesak napas, dan oximeter atau alat saturasi oksigen serta susu cair dan susu bubuk serta sejumlah vitamin dan obat-obatan dari Puskesmas.
Bahkan, lebih tidak tega lagi dan membuat hati kami trenyuh dan air mata meleleh, ketika kami setiap hari harus memberikan makanan dan minuman kepada ibu di dalam kamar isoman yang layaknya "ruang penjara" tanpa harus menemani ibu makan bersama keluarga seperti hari-hari sebelumnya.
Setiap hari, bahkan setiap jam, pemeriksaan saturasi oksigen pun selalu kita lakukan. Selama isoman kondisi ibu saya berangsur-angsur kondisinya membaik, saturasi bersahabat berada diangka 95.
Dengan kondisi ini, ibu saya akhirnya bisa melewati masa isolasi mandiri selama dua minggu lebih, kesehatanya kembali pulih dan dinyatakan sembuh oleh pihak Puskesmas.
Berjuang melawan Covid-19 tidak mudah seperti orang yang kena batuk, flu dan pilek. Butuh perjuangan keras melawan wabah mematikan ini.
Selama di dalam kamar isoman, kami harus mendoromg dan tanpa henti memberikan dukungan terhadap ibu saya agar terus berjuang sembuh dari Covid-19 yakni dengan cara selalu memakai masker dalam ruang isoman, memaksakan diri untuk makan yang banyak, banyak minum air hangat, makan buah-buahan, mengkonsumsi vitamin dan minum obat dari dokter puskesmas, rutin berjemur setiap pukul 09.00 -09.30 WIB, dan minum susu, serta secara spiritual menjalankan kewajiban sholat lima waktu, berdzikir, membaca Al Qur'an, dan sholat tahajud.
Sedangkan ibu mertua saat itu masih kesulitan untuk makan dan minum. Setiap makan dan minum selalu muntah, ditambah lagi saturasinya naik turun. Angka saturasi 80 ke bawah sampai membuat kondisinya drop.
Kondisi ini juga dipicu karena sebelumnya ibu mertua dalam keadaan sakit (komorbid). Sebelum dinyatakan positif Covid-19, hampir 3 tahun ibu menderita osteoarthritis atau peradangan kronis pada sendi akibat kerusakan pada tulang rawan, dan Osteoporosis yakni kondisi berkurangnya kepadatan tulang yang menyebabkan tulang menjadi keropos dan mudah patah. Penyakit inilah yang membuat fisik dan imunitas ibu mertua terus melemah.
Bahkan, setiap hari dengan menggunakan mobil pribadi, keluarga harus membawa ibu yang kondisinya kritis keliling Kota Malang untuk mencari rumah sakit yang bisa merawat pasien Covid-19.
Namun sayang, lagi-lagi usaha menyelamatkan ibu mertua sia-sia, karena ditolak pihak rumah sakit dengan alasan tidak ada ruang perawatan Covid-19 di rumah sakit sehingga harus pulang ke rumah lagi. Hal ini dilakukan selama hampir 5 hari berturut-turut.
Saat itu, kami juga berusaha untuk menghubungi salah satu pejabat di Pemkot Malang yang saya kenal dekat untuk meminta bantuan dan menanyakan keberadaan ruang rumah sakit lapangan Idjen Boulevard maupun di gedung perawatan Covid-19 di Dinas Sumber Daya Manusia Pemprov Jatim Jalan Kawi, Kota Malang pun juga mengabarkan jika ruang pasien Covid sudah penuh. Kami sekeluarga dan ibu mertua hanya bisa pasrah kepada Allah SWT dengan kondisi ini.
Namun, beberapa hari kemudian, keluarga kembali mencari info rumah sakit yang bisa menerima pasien Covid-19. Tapi alhamdulillah akhirnya kami dapat di rumah sakit Lavalette, tetapi saat itu ruangan untuk pasien Covid-19 sudah penuh.
Selama menjalani perawatan di ruang perawatan Covid-19, kondisi ibu mertua sempat membaik. Dalam kondisi terbaring lemah, ia tetap menjalankan kewajiban sholat lima waktu, dan keesokan harinya meminta kami untuk mengirimkan kitab Majmu' Syarif dan kitab Rotib Al Hadaad.