Meningkatan Kualitas Garam, Petani di Jatim Gunakan Geomembran

 

Foto : Petani Garam

Jakarta, Pesan Rakyat - Suasana mendung disiang hari, dikala Sumadi (50) khusyuk memanen garam di lahan berukuran 70×40 meter persegi yang digarapannya di Desa Labuhan, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, (13/9).

Dengan berbekal kerik, bapak dua anak ini geraknya nampak tergesa-gesa seolah sedang berpacu dengan datangnya hujan.

Kerik merupakan alat tradisional yang digunakan petani untuk mengumpulkan garam, alat bantu panen ini terbuat dari bambu dan kayu papan.

Bak petani yang sedang mencangkul, postur tubuhnya sedikit membungkuk. Sementara kedua tangannya terus bergerak menuai zat yang biasa digunakan sebagai bahan untuk memasak tersebut.

Langkah demi langkah, garam itu pun kemudian terkumpul membentuk gugusan-gugusan kecil diatas plastik berwarna hitam.

Warna kulit kakinya nampak kontras disaat menginjak garam “menggunakan plastik ini hasilnya bisa lebih putih dan bersih,” jelas pria berkulit gelap ini. Jika diperhatikan warna gelap itu karena terlalu banyak terpapar sinar radiasi matahari.

Usai meneguk air, Sumadi melanjutkan, selama 20 tahun berkecimpung di dunia pembuatan garam secara tradisional, baru lima tahun ini ia membuat garam dengan menggunakan alas plastik. Teknik ini dikenal juga dengan sebutan teknologi geomembran.

Menurutnya, dengan memakai teknik ini selain menghasilkan garam lebih bersih, hasilnya juga bisa lebih banyak.

Sebab air yang digunakan sebagai bahan pembuatan garam itu bisa bertahan lebih lama, tidak meresap ke dalam tanah.

Untuk menjaga kebersihan air tersebut pada salurannya perlu diberi filter. Selain itu, di petak tambak atau disebut dengan meja garam juga harus dipasang terpal hitam. Pada prinsipnya, metode ini digunakan untuk mempertahankan kebersihan air, memperpanjang aliran air dan juga mempercepat proses pembuatan air tua.

Abdurrahman (53), petani garam lainnya mengaku sejak menggunakan teknologi geomembran proses pembuatan garam lebih mudah dan enak. Dibandingkan dengan sebelumnya, hasilnya bisa lebih maksimal, bisa meningkat dua kali lipat.

Selain itu proses kristalisasi dari volume air laut yang sudah dituakan juga menjadi lebih cepat, karena plastik hitam ketika terpapar matahari akan mudah panas,

“Kalau plastikan 10 hari sudah panen, kalau tidak menggunakan plastik itu bisa 15 hari. Jadi, sangat membantu,” ujarnya.

Semula, lanjut bapak tiga anak ini, metode pembuatan garam menggunakan plastik ini dikenalkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan setempat. Selain diarahkan, dirinya juga mengaku diberi bantuan berupa plastik geomembran.

“Tapi itu hanya berlaku hanya tiga tahun. Setelah itu sampai sekarang tidak ada pendampingan dan bantuan lagi, bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini,” keluh pria yang sejak remaja sudah menjadi petani garam dilahan tambak Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong ini.

Meski sudah tidak dapat bantuan, sampai sekarang Abdur, panggilan akarabnya, masih menggunakan plastik dalam membuat garam. Sementara, plastik yang digunakan itu hanya bisa bertahan 3-5 tahun, setelah itu untuk mendapatkan lagi dia harus merogoh kocek sendiri.

Untuk harga plastik geomembran sekarang ini antara Rp14-25 ribu per meter, tergantung ketebalannya. Sementara dalam satu petak bisa menghabiskan uang jutaan rupiah untuk membeli plastik tersebut. Baginya, harga itu tergolong mahal. Ditambah harga jual garam ditingkat petani saat panen raya juga turun.

“Saya berharap pemerintah kembali memperhatikan nasib petani garam, paling tidak bisa mengontrol harga,” ucapnya. Dengan harga yang stabil itu menurut dia agar petani bisa lebih sejahtera, tidak terlalu terbebani dengan biaya operasional.

-Kikidamanhuri

Lebih baru Lebih lama