Kisah Hidup Sang Pahlawan Nasional, Bapak Republik Indonesia Yang Tak Bisa Digebuk

Foto : Tan Malaka yang diambil dari facebook


Jakarta, Pesan Rakyat - Seperti diketahui Hari Pahlawan menjadi peringatan nasional setiap tanggal 10 November 2021.

Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

Hari Pahlawan sekiranya tidak hanya sekedar diingat setiap tanggal 10 November namun lebih dari pada itu bagaimana menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi sekarang untuk mengisi kemerdekaan.

Dalam rangka memperingati hari pahlawan tepat hari ini 10 November 2021. Ingatan kita tentangnya hanya semakin memburuk, tak peduli studi-studi semakin membuka berbagai misteri sejarah yang menyelubunginya.

Bahkan menjadi hantu yang bisa membelengu pikiran kita, karena sepak terjang beliau yang penuh kontroversi. Tapi  beliau dijuluki Bapak Republik Indonesia, karena berkat beliau lah nama Republik Indonesia tercetus.

Dia adalah Tan Malaka, Tan Malaka adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Namanya sangat melegenda, bahkan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Sukarno berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963.

Tan Malaka lahir di Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897. Tan Malaka mempunyai nama asli Sutan Datuk Ibrahim. Ia berasal dari keluarga bangsawan di daerahnya. Ayahnya bernama Sutan Rasyad dan ibunya bernama Rangakyo Sina.

Saat  masih kecil, Tan malaka dididik sebagaimana orang Sumatera Barat pada umumnya yang sangat mendalami ilmu agama Islam. Bahkan Tan Malaka khatam Al-Qur’an sejak umur 10 tahun.

Asal usul nama Tan Malaka bermula ketika ia berumur 16 tahun. Pada waktu itu ia diberikan dua pilihan oleh keluarganya untuk memilih gelar Datuk Tan Malaka atau dijodohkan dengan perempuan pilihan keluarganya.

Awalnya Tan Malaka muda menolak kedua pilihan tersebut, namun setelah dipaksa oleh kedua orang tuanya, maka ia memilih untuk memiliki gelar Datuk Tan Malaka.

Tan Malaka muda berpikir bahwa proses perjalanan hidupnya masih panjang, sehingga ia tidak mau mimpi-mimipinya untuk mencerdaskan masyarakat pribumi harus dihentikan oleh sebuah hubungan rumah tangga. Sejak saat itu Sutan Datuk Ibrahim dikenal dengan nama Tan Malaka.

Setelah mempunyai gelar sebagai Datuk Tan Malaka, pada tahun 1913, Tan Malaka terbang ke negeri Belanda. Pada saat itulah dimulainya perjalanan panjang Tan Malaka untuk belajar dan berkecimpung mendalami ideologi marxis-komunis.

Sebelumnya, keluarga Tan Malaka menolak untuk mengizinkannya melanjutkan pendidikan ke Belanda. Hal itu dilatarbelakangi oleh keterbatasan ekonomi keluarga. Akan tetapi, setelah mendapatkan bantuan dari gurunya, akhirnya pihak keluarga mengizinkannya.

Tan Malaka mengenali dan belajar ideologi kiri di sana selama kurang lebih 6 tahun. Ia sadar bahwa masyarakat Indonesia perlu membuka dan mengibah cara pandang untuk merdeka. 

Berdasarkan pengalaman ilmu di Belanda, Tan malaka kembali ke tanah air pada tahun 1919 dan menjadi seorang guru di sebuah perkebunan buruh kontrak di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara.  

Latar belakang  guru yang dimilikinya, membuat Tan Malaka berkeinginan untuk membantu masyarakat Bukit Tinggi agar masyarakat menjadi cerdas dengan tetap berdasar pada identitas asli mereka.

Setelah itu, Tan Malaka merantau ke Jawa dan pergi ke Semarang. Di sana, dia ikut Sarekat Islam cabang Semarang dan sempat membangun sekolah di Semarang. Sebelum diusir dari Hindia Belanda, Tan Malaka juga sempat memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).

Semasa hidupnya, Tan Malaka hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain, termasuk Rusia yang menguat menjadi Uni Soviet. Di negara itu, Tan menjadi anggota Comintern (anggota Komunis Internasional). Ia sempat berselisih dengan penguasa Uni Soviet, Joseph Stalin dan dituduh sebagai Trotskys.

Sebelum Perang Dunia II, Tan Malaka hidup dalam penyamaran sekitar Asia Tenggara. Dalam masa-masa itu, ia pun menggunakan banyak nama samaran seperti: Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong.

Di akhir masa pendudukan Jepang, dia menyamar sebagai mandor di Banten dan menghabiskan waktu untuk menulis karya besarnya, Madilog.

Di masa revolusi, Tan Malaka dianggap otak dari Peristiwa 3 Juli 1946. Dia menentang hasil perundingan Republik Indonesia dengan Belanda. Saat itu, Tan Malaka menuntut Merdeka 100 persen. Tan Malaka terlibat dalam Persatuan Perjuangan bersama Jenderal Sudirman.

Tan Malaka juga pernah mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai ini pernah ikut Pemilu 1955, namun dibekukan pada tahun 1965.

Tan Malaka terbunuh sekitar Februari 1949. Tan Malaka tewas ditembak oleh pasukan militer Indonesia tanpa pengadilan di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, pada 21 Februari 1949.

Eksekustornya berasal dari Brigade Sikatan atas perintah petinggi militer Jawa Timur. Tan Malaka dibunuh karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah yang bersikap moderat dan penuh kompromi terhadap Belanda.

Belakangan, Presiden Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963. Pengikutnya yang paling terkenal adalah Adam Malik dan Muhamad Yamin.

Demikian adalah ulasan tentang biografi dan sejarah sepak terjang Tan Malaka, semoga dapat menginspirasi generasi muda khususnya pada momen memperingati Hari Pahlawan.

- Dimas

Lebih baru Lebih lama