Kisah Sang Pencerah, Pahlawan Nasional Dituding Kiai Kafir dan Busuk

Foto : KH Ahmad Dahlan


Jakarta, Pesan Rakyat - Seperti diketahui Hari Pahlawan menjadi peringatan nasional setiap tanggal 10 November 2021.

Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

Hari Pahlawan sekiranya tidak hanya sekedar diingat setiap tanggal 10 November namun lebih dari pada itu bagaimana menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi sekarang untuk mengisi kemerdekaan.

Dalam rangka memperingati hari pahlawan tepat hari ini 10 November 2021. Ada satu nama ulama kharismatik yang dijuluki Sang Pencerah, pendiri salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga bisa dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

Pendiri dari organisasi ini adalah KIAI Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis. Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir di daerah bernama Kauman, yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868.

Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang ada di keluarga KH Abu Bakar. Ayahnya seorang tokoh agama terkemuka, khatib di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta di era Hindia Belanda. Ibunya, Siti Aminah, adalah putri Haji Ibrahim, penghulu di Kesultanan Yogyakarta pada masa itu.

Ketika masih kecil, Dahlan tidak mendapat pendidikan dari sekolah. Keterampilan sastra dasarnya ia dapat dari ayahnya, teman, serta saudara iparnya.

Pada usia 8 tahun, Dahlan sudah mampu membaca dan menyelesaikan bacaan Al-Qur'an.

Selain itu, sejak kecil Dahlan juga sudah menunjukkan jiwa kepemimpinannya. Ia pun mulai  mulai mendalami ilmu Islam saat sudah beranjak remaja.

Dahlan mengenyam pendidikan di pesantren. Pada usia 15 tahun, ia berangkat haji dan menetap di Kota Mekkah selama 5 tahun. Selama di Mekkah, Kiai Dahlan memperdalam ilmu agama dan juga berinteraksi dengan Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah yang memiliki pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam. 

Pada usia 20 tahun pada 1888, ia kembali pulang ke kampung dan mengubah namanya Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Namanya itu diberi oleh seorang syekh dari perguruan syariat Syafi’i yang bernama Sayyid Bakri Shatta. Di Mekkah, Kiai Dahlan berhubungan juga dengan jemaah haji dari Jawa Barat, Minangkabau, Aceh, Sulawesi dan daerah lain yang memiliki kepercayaan kuat terhadap Islam. 

Setalah itu, beliau kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun di sana pada tahun 1903. Selama dua tahun di Mekkah, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga merupakan guru dari K.H. Hasyim Asyari, pendiri NU.

Sekembalinya beliau dari Mekkah pada tahun 1912, beliau mendirikan Muhammadiyah di kampung halamannya, Kauman, Yogyakarta.

Sang pendiri Muhammadiyah itu menghadapi banyak lika-liku kehidupan, termasuk ketika dirinya dituding mengajarkan ideologi kafir.

Orang-orang waktu itu belum seluruhnya menerima ide-ide pembaruan yang diusungnya. Alhasil, Kiai Dahlan tak hanya menerima tantangan dari pemerintah kolonial Belanda, tetapi juga sesama masyarakat dan Muslimin yang berpandangan kolot.

Tuduhan "kafir" itu terjadi karena Kiai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang mengajarkan tak hanya ilmu-ilmu agama, melainkan juga ilmu umum. Selain itu, sekolah yang dibangunnya juga menyediakan berbagai sarana pendukung, seperti papan tulis, meja dan kursi, sehingga dicap menyerupai sekolah-sekolah formal yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.

Pada 7 Mei 1921, Kiai Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah. Permohonan itu pun dikabulkan pada 2 September 1921. Muhammadiyah pun berkembang pesat sejak saat itu.

Meskipun dibatasi pemerintah kolonial, kiprah Kiai Ahmad Dahlan tak kenal surut. Ulama berjulukan "sang pencerah" itu sempat dilarang untuk menyebarkan ajarannya ke luar Yogyakarta. Namun, tetap saja ia tak membatasi dakwahnya.

Waktu itu, Muhammadiyah sudah berdiri. Dalam rangka memperkenalkan organisasi itu, ia pun mengunjungi beberapa daerah luar Yogya, termasuk Banyuwangi, Jawa Timur.

Akan tetapi, sambutan yang diterimanya kala itu jauh dari kesan ramah. Bahkan, sepulangnya dari daerah tersebut, sebuah surat sampai ke rumahnya.

Isi surat itu sebagai berikut, "Hai ulama palsu yang busuk! Datanglah kemari sekali lagi, kalau memang benar ajakanmu itu. Kami akan menyambut kedatanganmu dengan belati tajam dan golok besar, biar engkau pulang menjadi bangkai. Bawalah istrimu sekali supaya dapat kami selesaikan pula."

Tak terlintas rasa takut dalam hati Kiai Dahlan. Ia justru mengajak istrinya untuk pergi ke Banyuwangi. Mendengar kabar itu, sanak keluarganya berupaya mencegah. Sebab, mereka sangat khawatir bila terjadi kekerasan yang menimpa sang kiai dan nyai.

Nyatanya, tak ada bahaya mengadang Kiai Dahlan dan istrinya. Dakwah keduanya di Banyuwangi berlangsung aman hingga kembalinya ke Yogyakarta.

Atas jasa-jasanya tersebut, Pemerintah RI menetapkan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional. Pendiri organisasi Muhammadiyah itu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional menurut Surat Keprres No. 657 Tahun 1961.

Demikian adalah ulasan tentang biografi dan sejarah sepak terjang KH Ahmad Dahlan, semoga dapat menginspirasi generasi muda khususnya pada momen memperingati Hari Pahlawan.

-Dimas

Lebih baru Lebih lama