Sejarah Pahlawan Revolusi Nasional Jenderal Soedirman

Foto : Jenderal Soedirman bersama Parjuritnya

Jakarta, Pesan Rakyat - Jenderal Soedirman salah satu pahlawan revolusi nasional yang berperan penting bagi bangsa Indonesia.

Tulisan ini menceritakan sedikit biografi Jenderal Soedirman yang mengabadikan jasa perjuangannya untuk Indonesia dan kisah perjuangan Jenderal Soedirman.

Jenderal Soedirman adalah sosok yang disegani oleh pasukannya dalam sejarah Indonesia sebagai tokoh pahlawan revolusi Nasional.

Ia memiliki peran yang sangat besar pada masa revolusi merebut kemerdekan Indonesia dari kolonial Belanda.

Jenderal Soedirman kemudian menjadi panglima pertama sekaligus Jenderal RI pertama dengan usia termuda, yakni 31 tahun.

Dibalik keberaniannya, Jenderal Soedirman ternyata memiliki kepribadian yang tenang dalam memecahkan masalah untuk menemukan cara yang solutif, gigih, dan sangat teguh dalam memegang prinsip.

Itulah sebabnya ia dikenal sebagai pejuang yang tangguh dan tidak kenal lelah.

Orang tua Jenderal Soedirman adalah Karsid Kartawiraji, seorang pekerja pabrik gula di Kalibagor, Banyumas dan Ibunya, Siyem yang merupakan keturunan Wedana Rembang.

Ia memiliki satu saudara yakni Muhammad Samingan.

Istrinya adalah Alifah dan bersamanya dikaruniai tujuh orang anak.

Jenderal Soedirman tidak hidup oleh orang tuanya, ia dibesarkan oleh pamannya bernama Raden Cokrosunaryo yang merupakan seorang camat di Rembang Purbalingga agar bisa hidup lebih layak dan mapan.

Saat itu Raden Cokrosunaryo belum memiliki anak sehingga mengadopsi Jenderal Soedirman menjadi anaknya.

Bersama pamannya tersebut, sejak kecil Sang Jenderal memang memperoleh pendidikan yang layak.

Di usianya yang masih 7 tahun, ia sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang kemudian dilanjutkan ke Taman Siswa saat usianya 8 tahun.

Kemudian ia dipindahkan lagi ke Sekolah Wirotomo karena Taman Siswa dianggap Belanda adalah lembaga ilegal di tahun berikutnya.

Soedirman muda dikenal sebagai anak yang taat beribadah, rajin belajar, dan tekun memahami tentang agama Islam dari Raden Muhammad.

Ia kemudian mendapatkan julukan Haji karena pengetahuan agamanya dan sering ceramah di depan umat muslim saat itu.

Setelah pamannya wafat, Jenderal sangat terpukul oleh kepergian orang tua angkatnya tersebut.

Ia pun harus mengalami masalah ekonomi yang sangat kurang, beruntungnya ia masih diperbolehkan sekolah di Wirotomo tanpa membayar.

Berkat kecerdasannya ia tetap bertahan dan terus mengasah kemampuannya.

Jenderal Soedirman pun akhirnya mulai ikut mendirikan organisasi Islam saat usianya masih remaja, yakni Hizbul Wathan miliki Organisasi Muhammadiyah.

Karena dedikasinya sejak dini itu, akhirnya Jenderal Soedirman diberi kepercayaan untuk memimpin organisasi tersebut di cabang Cilacap.

Jiwa kepemimpinan Jenderal Soedirman sudah muncul sejak ia masih muda, sehingga masyarakat segan dan hormat kepada Sang Jenderal tersebut.

Ia pun melanjutkan studinya di Kweekschool (sekolah khusus untuk calon guru) meskipun akhirnya tidak terselesaikan karena masalah Biaya.

Jenderal Soedirman pun kembali ke Cilacap dan mengajar guru sekolah dasar Muhammadiyah di sana.

Guru pribadinya yang bernama Muhammad Kholil lah yang mengangkat Sang jendral menjadi guru di Hollandsch inlandsche School (HIS) tersebut.

Di cilacap juga Sang Jenderal bertemu dengan tambatan hatinya, Alifah sang Istri yang merupakan anak dari pengusaha batik kaya, yakni Raden Sosro Atmojo.

Pada zaman Belanda, Jenderal Soedirman belum dikenal sebagai pejuang, menurut Hatta Sang Jenderal di kenal oleh orang-orang sebagai seorang guru.

Pada saat penjajahan Jepang tahun 1942, aktivitas mengajarnya dibatasi oleh Jepang dan sekolah tempat mengajar dijadikan sebagai pos militer Jepang.

Jenderal Soedirman berhasil negosiasi dengan pemerintah Jepang agar ia tetap bisa mengajar anak-anak pribumi di sana meskipun dengan perlengkapan belajar seadanya dan terbatas.

Sejak saat itulah Jenderal Soedirman mulai aktif di dunia militer dan bergabung dengan PETA yang kemudian ia pergi menempuh pendidikan militer di Bogor.

Setelah lulus dari pendidikan militer tersebut, Jenderal Soedirman menjadi batalyon Kroya.

Keaktifannya di militer membawa Jenderal Soedirman bertemu Soekarno dan Hatta dan ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri para tentara Jepang di Banyumas, tepatnya setelah ia mendirikan divisi lokal dari Badan Keamanan Rakyat Indonesia saat itu.

Sejak peristiwa itulah pasukan Jenderal Soedirman dijadikan sebagai sebagai divisi V oleh Oerip Soemohardjo yang saat itu adalah panglima sementara.

Sementara Jenderal Soedirman menjadi panglima untuk divisi V atau daerah Banyumas dengan pangkat Kolonel tepat setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau BKR.

Setelah itu pada Konferensi TKR tanggal 2 November 1945, Sang Jenderal terpilih menjadi Panglima Besar TKR atau Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia yang pertama.

Panglima Besar TKR atau Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia yang pertama.

Meskipun belum dilantik secara resmi sebagai panglima, Jenderal Soedirman sudah sigap memerintahkan pasukannya untuk menyerang pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.

Karena tindakannya itulah membuat rakyat menjadi semakin kuat mendukung perjuangan Sang Jenderal.

Perannya yang besar itulah mengantarkan Soedirman diberikan pangkat Jenderal yang dilantik oleh Presiden Soekarno pada 18 Desember 1945.

Karir militernya berlanjut cemerlang hingga memperoleh pangkat jenderal Panglima Besar Tentara Rakyat Indonesia (TRI) pada 25 Mei 1946 hingga menjadi Jenderal Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia yang pertama.

Kehebatan Sang Jenderal diakui oleh masyarakat Indonesia saat itu.

Saat Amir Syarifudin menjadi Menteri Pertahanan, ia mengesampingkan Jenderal Soedirman yang menurunkan jabatannya menjadi Panglima Pertempuran Mobil di bawah Menteri Pertahanan tersebut.

Kemudian setelah Agresi Militer Belanda II, Jenderal Soedirman menunjukan surat keberatan tentang persetujuan gencatan senjata kepada Presiden.

Akibat surat tersebut Sang Jenderal pun harus dibebastugaskan dari Panglima Besar APRI dan diberhentikan dari anggota tentara.

Karena Presiden dan Wakil Presiden sangat keberatan dengan keputusan Sang Jenderal, akhirnya Jenderal Soedirman pun mengurungkan niatnya untuk keluar dari kemiliteran Indonesia.

Sang Jenderal ini adalah saksi dari berbagai upaya diplomatik yang gagal dilakukan Indonesia terhadap pemerintahan Belanda saat itu yang selalu ingin menjajah.

Diplomatik pertama yang gagal adalah Perjanjian Linggarjati yang dalam penyusunannya ikut andil Sang Jenderal Soedirman.

Selain itu kegagalan pada Perjanjian Renville yang harus membuat Indoensia mengembalikan wilayah yang berhasil diambil pada Agresi Militer Belanda I kepada Belanda dan mengharuskan Jenderal Soedirman menarik 35 ribu pasukannya.

Perundingan Roem Royen juga melibatkan peran Jenderal Soedirman karena berkaitan dengan kemiliteran dan upaya pemberontakan dalam negeri tahun 1948 dari peristiwa G30S PKI di Madiun.

Dari segala perjanjian dengan Belanda, Jenderal Soedirman terus mendesak Soekarno untuk tetap melanjutkan perang gerilya karena ia tidak percaya Belanda yang akan benar-benar memenuhi janjinya.

Namun saat itu Soekarno menolak dan membuat Sang Jenderal sangat terpukul dan membuatnya jatuh sakit.

Jenderal Soedirman mengidap penyakit Tuberkulosis (TBC) karena terinfeksi saat berjuang pada November 1948 yang menyebabkan paru-paru kanannya harus dikempeskan.

Kepergian Oerip meninggal dunia pada tahun 1948 juga semakin memperburuk kondisi Sang Jenderal. Ia sempat ingin mengundurkan diri dari kemiliteran Indonesia namun ditolak Soekarno karena dapat menimbulkan ketidakstabilan perjuangan negara saat itu.

Setelah Jenderal Soedirman keluar Rumah Sakit pada 19 Desember 1948, Belanda justru melancarkan Agresi Militernya yang ke 2. Penyakit parah yang ia derita rupanya tidak menghalangi Sang Jenderal untuk tetap berjuang melawan Belanda.

Jenderal Soedirman pun akhirnya pergi ke Selatan bersama kelompok kecil dan dokter pribadinya melakukan gerilya selama tujuh bulan dalam kondisi yang memprihatinkan, yakni ditandu dengan peralatan medis seadanya dan terbatas.

Pasukan mereka sempat ditemukan Belanda, namun mereka berhasil kabur ke Sobo dekat Gunung Lawu dari kejaran Belanda.

Jenderal Soedirman memimpin kemiliteran di Jawa termasuk tetap mengomandoi Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta melawan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Kondisinya yang semakin parah membuatnya harus mundur dari medan perang melawan Belanda secara langsung di lapangan.

Kegigihannya melawan Belanda sangat dikagumi oleh para pasukannya dan memberikan mereka motivasi besar untuk terus melawan Belanda.

Penyakit yang diderita Jenderal Soedirman kian parah setelah memaksakan diri untuk tetap bergerilya melawan Belanda. Kondisinya yang semakin memburuk tersebut rupanya tidak membuat Jenderal Soedirman menyerah untuk sembuh.

Sang Jenderal tetap rajin kontrol ke Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta untuk berjuang melawan penyakitnya. Saat ia sedang di rawat di Sanatorium Pakem Desember 1949, Jenderal Soedirman memperoleh berita bahagia karena Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia melalui Republik Indonesia Serikat Tepatnya 27 Desember 1949.

Sang Jenderal pun akhirnya dipindahkan ke Magelang untuk memperoleh perawatan yang lebih intensif.

Namun upaya pengobatan Sang Jenderal tidak berhasil, tepat 1 bulan setelah kedaulatan Indonesia merdeka dari Belanda, Jenderal Soedirman wafat karena penyakit yang ia derita pada 29 Januari 1950.

Ada pasukan konvoi dengan empat buah tank dan 80 buah kendaraan bermotor kemiliteran Indonesia yang mengiringi pemakaman Jenderal Soedirman di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Kepergian Jenderal Soedirman ini dinobatkan sebagai kepergian Sang Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Rakyat Indonesia pun sangat terpukul dan kehilangan sosok pahlawan besar, bahkan ribuan rakyat berkumpul sepanjang 2 kilometer menyaksikan prosesi pemakaman Sang Jenderal.

Masyarakat Indonesia pun mengibarkan bendera merah putih setengah tiang untuk menghormati kepergian Jenderal Soedirman pada hari kematiannya tersebut. Jejak perjuangannya kemudian menjadi esprit de corps untuk tentara Indonesia, yakni taktik gerilyanya yang sangat berani.

Rute perang gerilya sepanjang 100 kilometer yang pernah dilakukan Jenderal Soedirman pun menjadi zona pelatihan kemiliteran bagi para taruna Indonesia yang belum lulus dari akademi militernya. Kisah perjuangan Jenderal Soedirman abadi bagi bangsa Indonesia, hingga namanya banyak dijadikan nama-nama jalan, gedung, universitas, dan museum.

-Kikidamanhuri
Lebih baru Lebih lama