Tokoh Resolusi Jihad, Sang Ulama Pemikir - Pejuang

 

Foto : Kiyai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari.


Jakarta, Pesan Rakyat - Seperti diketahui Hari Pahlawan menjadi peringatan nasional setiap tanggal 10 November 2021.

Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

Hari Pahlawan sekiranya tidak hanya sekedar diingat setiap tanggal 10 November namun lebih dari pada itu bagaimana menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi sekarang untuk mengisi kemerdekaan.

Dalam rangka memperingati hari pahlawan tepat hari ini 10 November 2021, kita akan mengulas tokoh ulama Islam yang juga pahlawan nasional Indonesia. Ia memiliki wawasan luas dan pemikiran visioner dalam sejarah perjuangan.

Beliau adalah pahlawan nasional yang menjadi tokoh penting dalam gerakan 10 November di Surabaya. Bersama Bung Tomo yang kelak diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Dia  tokoh paling penting bagi kaum nahdliyin (masyarakat Nahdlatul Ulama). Dia Adalah Kiyai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari.

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman, yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Giri.

Jika dilihat dari silsilahnya, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam).

Ia dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H.

Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru.

Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. 

Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”     

Selama di Mekkah, Kiai Hasyim menimba ilmu ke sejumlah ulama terkenal. Di antaranya Syaikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh mahfudz al Turmusi, Syaikh Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Al Yamani, Syaikh Rahmatullah dan Syaikh Bafadhal.

Kiai Hasyim belajar ilmu hadis ke Syaikh Mahfudz al Tumursi, ulama asal Termas. Ia ulama yang mengajarkan kitab Sahih Bukhari di mekkah. Dari syaikh Akhmad Khatib, Kiai Hasyim belajar ilmu fikih mazhab Syaifii. Konon KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah juga salah satu murid Syaikh Ahmad Khatib. 

Kesungguhan Kiai Hasyim menuntut ilmu membuahkan hasil manis. Kiai Hasyim ditunjuk sebagais alah satu guru di masjidil Haram bersama para ulama Indonesia lain di antaranya Syeikh Nawawi al bantani dan Syaikh Khatib Al Minangkabawi.

Ulama asal Indonesia pada masa lalu bukan hanya murid ulama Timur Tengah dan dunia Islam lainnya tetapi mereka juga sebagai guru karena kedalaman ilmu agamanya.

Setelah tujuh tahun menetap di Makkah, Kiai Hasyim kemudian kembali ke kampung halaman pada 1899. Pada mulanya, Kiai Hasyim tinggal di rumah mertunya di Kediri, Lalu, dia membantu kakeknya, Kiai Usman mengajar di pesantren Gedang hingga kemudian membantu ayahnya, Kiai Asy'ari mengajar di Pesantren Keras, Jombang dan kemudian mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.

Pada awalnya, mendirikan Pesantren Tebuireng bukan perkara mudah karena saat itu orang-orang di kawasan Jombang terkenal dengan perilaku buruk. Namun, hal itu tidak menyurutkan tekat Kiai Hasyim.

Awalnya, pesantren yang dibangun hanya beberapa bilik atau kamar dari taratak atau bambu. Santri pada masa itu hanya berjumlah delapan orang. Lambat laun, kealiman dan kezuhudan Kiai Hasyim membuat masyarakat Jombang menerima dakwahnya hingga membuat pesantrennya semakin berkembang.

Tak hanya konsen pada pendidikan agama, Kiai Hasyim juga peduli dengan persoalan keumatan. Puncak komitmennya dalam menyelamatkan umat dari kubangan kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan yakni dengan mendirikan organisasi sosial-keagamaan yang diberi nama Nahdtalul Ulama.

Organisasi NU ini tidak bisa dipisahkan dari kiprah Kiai Hasyim bersama Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa ulama lainnya. Organisasi NU ini didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926.

Hasyim Asy'ari adalah kakek dari mendiang Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang merupakan putra dari Wahid Hasyim. Nama terakhir juga merupakan tokoh pergerakan sekaligus menteri negara di Kabinet Pertama.

Hasyim wafat pada 21 Juli 1947. Dan 17 tahun kemudian, pada 1964 ia ditetapkan sebagai pahlawan pergerakan nasional lewat surat keputusan Presiden RI No.284/TK/Tahun 1964, tanggal 17 November.

Demikian adalah ulasan tentang biografi dan sejarah sepak terjang KH. Hasyim Asy'ari, semoga dapat menginspirasi generasi muda khususnya pada momen memperingati Hari Pahlawan.

-Dimas
Lebih baru Lebih lama