Dari Aitumeri ke Golgota, Pendidikan, Kebangkitan, dan Rakyat Papua

 

Ferdinand Nauw Tahoba/Tokoh Muda Papua 

Pesan Rakyat - (Sebuah Refleksi Paskah dalam Terang Pemikiran Paulo Freire, Nubuatan I.S. Kijne, dan Realitas Otsus Papua)

Di tahun 1925, di atas batu sunyi di Aitumeri, seorang pendeta tua bernama Izaak Samuel Kijne menanam benih yang tidak bisa ditemukan dalam kebijakan pusat atau modul pelatihan guru: keyakinan pada rakyat Papua. Ia tidak membawa peta jalan pembangunan, tidak datang dengan proposal, tetapi dengan satu nubuatan.

“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban rakyat Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat untuk memimpin bangsa ini, mereka tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.”

Sejak saat itu, tanpa sadar, batu Aitumeri berdiri sebagai simbol harapan yang bertumbuh di luar sistem. Tapi ironisnya, sistemlah yang terus mencoba menggantikan harapan itu—dengan Undang-Undang, Otsus, dan serangkaian dokumen yang lebih tebal dari suara rakyat sendiri.

Masuklah Paulo Freire, pemikir dari Brasil yang barangkali tak pernah menginjakkan kaki di tanah Papua, namun kata-katanya seakan lahir dari kampung-kampung di pegunungan Lepago, Meepago, dan Doberai atau pesisir Bomberay, Saireri, dan Mamta, serta hamparan padang Anim-Ha. Ia menulis bahwa pendidikan sejati bukan tentang menyuruh orang diam, tunduk, dan menghafal. Pendidikan bukan "deposito" pengetahuan seperti bank. Ia adalah praktik kebebasan—sebuah proses di mana manusia belajar mengenali dirinya, dunianya, dan kekuatan untuk mengubahnya.

Tapi bagaimana bisa rakyat Papua mengenal dirinya, jika bahkan dalam sistem pendidikan pun, cerita tentang dirinya dihapus?

Tidak ada "Ini Markus di Fakfak," yang ada "Ini Budi." Tidak ada "Ini dusun pala Tomandin," yang ada "Ini rumah Pak Lurah."

Ini bukan sekadar soal kurikulum, tapi soal cara berpikir: bahwa rakyat Papua adalah obyek, bukan subyek.

Padahal yang dibutuhkan bukan Otsus yang “menyediakan”, tapi pendidikan yang membangkitkan kesadaran untuk menentukan arah sendiri.

Lalu datanglah Paskah. Dan seperti Yesus yang bangkit bukan untuk membalas, tetapi untuk menebus; rakyat Papua pun dipanggil untuk bangkit—bukan dalam kemarahan, tapi dalam kesadaran,

Kesadaran bahwa mereka bukan korban abadi. Bahwa di dalam luka-luka sejarah dan kekecewaan, tersimpan benih kemuliaan yang tak bisa dibungkam oleh sistem apapun.

Pendidikan Papua tidak perlu meniru sistem luar. Ia hanya perlu jujur kepada dirinya sendiri. Sebab seperti batu nisan yang digulingkan dari kubur Yesus, perubahan besar seringkali dimulai dari kesadaran kecil yang ditolak oleh kekuasaan.

Dan kini, setelah seratus tahun nubuatan Kijne bergaung dari Bukit Aitumeri, suara itu menyatu dengan Injil Paskah dan pemikiran Freire.

Ketiganya berkata hal yang sama: “Bangkitlah, rakyat Papua. Bangkit bukan untuk membenci, tetapi untuk memahami. Bukan untuk meniru, tetapi untuk menjadi diri sendiri.”

Karena hanya mereka yang mengenal siapa dirinya—yang bisa menyelamatkan masa depannya.

Selamat Paskah

Dari Aitumeri ke Golgota, kita bangkit bukan sebagai korban, tetapi sebagai pemilik masa depan.

Hidup pendidikan yang membebaskan rakyat Papua yang hidup.***

Lebih baru Lebih lama