![]() |
Foto istimewa/pesanrakyat.id |
MAKNA FILOSOFIS SATU TUNGKU TIGA BATU.
Satu Tungku Tiga Batu adalah cerminan trilogi nilai yang menjadi inti kehidupan masyarakat adat Mbaham Matta:
1. Kebenaran Pencipta: Batu pertama melambangkan hubungan spiritual dengan Sang Pencipta, sumber segala kehidupan. Dalam tradisi adat, ritual seperti Minum Kopi (Kopi Kehnggara) bukan hanya simbol perdamaian, tetapi juga wujud syukur dan pengakuan akan kehadiran Pencipta. Kebenaran ini mengajarkan kerendahan hati, bahwa setiap langkah manusia harus selaras dengan kehendak ilahi.
2. Kebenaran Alam: Batu kedua adalah komitmen untuk hidup harmonis dengan alam. Hutan, laut, dan gunung Papua adalah warisan leluhur yang bukan sekadar sumber daya, tetapi saudara yang harus dijaga. Filosofi ini menyerukan kearifan lokal dalam menghadapi ancaman eksploitasi, memastikan keberlanjutan untuk generasi mendatang.
3. Kebenaran Manusia: Batu ketiga mencerminkan solidaritas antarmanusia. Dari 144 marga pusaka hingga suku-suku Nusantara, kebersamaan adalah kunci kelangsungan hidup. Dialog, seperti yang dilakukan dalam Kopi Kehnggara, menjadi cara untuk menyelesaikan konflik dan membangun harmoni antarsuku, etnis, dan pihak eksternal seperti pemerintah dan NGO.
Ketiga batu ini saling menopang. Jika satu batu goyah, tungku kehidupan akan miring. Filosofi ini bukan hanya warisan budaya, tetapi panduan untuk menghadapi dinamika modern.
Konferensi III Mbaham Matta: Menyatukan Lebih dari 1.000 Jiwa
Konferensi III, yang akan dihadiri lebih dari 1.000 peserta, mencerminkan keberagaman dan kekayaan budaya Papua.
Peserta terbagi dalam tiga golongan:
• Golongan Pusaka: Pemilik 144 marga dari 22 wilayah adat subkomunal, sebagai inti masyarakat adat Mbaham Matta.
• Golongan Istimewa: Saudara sebangsa Papua dari suku-suku asli di tujuh wilayah adat (Mamta, Saireri, Lepago, Meepago, Doberay, Bomberay, Anim-Ha), yang memperkuat solidaritas antarsuku Papua.
• Golongan Kehormatan: Suku-suku Nusantara dari Sumatra hingga Maluku yang mendiami Mbaham Matta, mencerminkan semangat inklusivitas.
Menuju konferensi utama, serangkaian tahapan telah dirancang:
1. Konferensi Maghi (7 Mei 2025): Acara spiritual adat untuk mensosialisasikan konferensi dan menggalang dana awal dari 144 marga, memperkuat semangat kebersamaan.
2. Musyawarah Marga: Dilaksanakan di 22 wilayah subkomunal untuk rekonsiliasi dan pemulihan internal marga, memastikan setiap marga bersatu dalam visi bersama.
3. Pra-Konferensi: Konsolidasi Pimpinan Wilayah Adat untuk menyatukan visi pimpinan 22 wilayah subkomunal dalam mendukung pelaksanaan konferensi, dan forum untuk rekonsiliasi suku-suku Papua dan Nusantara, membangun harmoni di tengah keberagaman.
4. Konferensi Utama (5 November 2025): Puncak acara untuk merumuskan rekomendasi pelestarian budaya, perlindungan sumber daya, dan hak masyarakat adat.
Subtema konferensi, "Melalui Reorganisasi dan Sinergitas, Kita Melindungi Budaya, Sumber Daya, serta Hak Masyarakat Adat di Tengah Dinamika Sosial", menegaskan bahwa Satu Tungku Tiga Batu adalah panduan praktis untuk reorganisasi struktur adat dan sinergi dengan pihak eksternal, tanpa kehilangan identitas budaya.
TANTANGAN.
Investasi, Politik, dan Independensi Dewan Adat
Masyarakat adat Mbaham Matta menghadapi tantangan besar di tengah masuknya investasi dan kondisi politik Papua yang kian memanas, baik di dalam maupun luar negeri. Investasi, meskipun membawa peluang ekonomi, sering kali mengancam tanah adat dan keberlanjutan alam. Deforestasi, pertambangan, dan proyek infrastruktur tanpa konsultasi memadai dengan masyarakat adat kerap merusak keseimbangan yang dijunjung dalam Kebenaran Alam.
Sementara itu, dinamika politik—dari isu otonomi khusus hingga ketegangan geopolitik—menempatkan masyarakat adat dalam posisi rentan. Ketegangan ini diperparah oleh narasi polarisasi, baik dari pihak yang memperjuangkan isu Papua maupun yang menekankan nasionalisme NKRI.
Di tengah situasi ini, Dewan Adat Mbaham Matta menegaskan sikapnya:
sebagai rumah murni bagi masyarakat adat, lembaga ini berdiri independen, tidak terafiliasi dengan kepentingan politik manapun. Dewan Adat bukan wadah untuk memihak, tetapi untuk mempersatukan, dengan berpijak pada nilai-nilai budaya dan spiritual yang netral. Sikap ini tercermin dalam pendekatan Satu Tungku Tiga Batu, yang menolak dikotomi dan memilih dialog. Melalui ritual Minum Kopi, masyarakat adat mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan konflik, baik internal maupun dengan pihak eksternal. Konferensi III menjadi bukti komitmen ini, dengan mengundang pemerintah, NGO, dan masyarakat umum untuk duduk bersama, tanpa agenda politik, demi pemulihan Negeri Papua.
Harapan: Pemulihan Melalui Kebersamaan
Konferensi III Mbaham Matta Fakfak 2025 adalah tungku besar tempat lebih dari 1.000 jiwa berkumpul. Dengan melibatkan golongan pusaka, istimewa, dan kehormatan, konferensi ini menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekuatan. Tantangan investasi dan politik dapat diatasi jika ketiga batu—Pencipta, Alam, dan Manusia—tetap seimbang. Kebenaran Pencipta mengajak kita untuk merendahkan hati, mencari solusi yang bermartabat. Kebenaran Alam menyerukan perlindungan terhadap tanah dan laut Papua, dengan kearifan lokal sebagai panduan. Kebenaran Manusia mendorong solidaritas, dari musyawarah marga hingga dialog lintas suku, untuk membangun harmoni.
Dewan Adat Mbaham Matta, sebagai rumah adat, akan terus menjadi penjaga tungku ini. Konferensi Maghi, musyawarah marga, dan tahapan lainnya adalah nyala api yang menghangatkan semangat kebersamaan. Pada 5 November 2025, ketika peserta dari 144 marga, suku-suku Papua, dan Nusantara bersatu, kita akan melihat Satu Tungku Tiga Batu bukan hanya filosofi, tetapi kenyataan hidup.
Satu Tungku, Tiga Batu, Satu Papua yang Harmonis.
Idu-idu Maninina.
*) Penulis adalah Anggota Steering Committee Panitia Konferensi III Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak Tahun 2025.***
Penulis : Ferdinand Nauw Tahoba